Matematika sebagai bahasa fisika

Di sebuah majalah disebutkan sudah ada osilator kristal yang bisa
mengontrol frekeuensi hingga ketelitian dan stabilitas dalam orde
ppb (part per billion), sehingga di ‘khawatirkan’ sudah mulai
menyaingi ketelitian jam Atom Cesium.

Jika ini benar, maka aplikasi yang sangat menggantungkan pada
standar waktu sekelas jam atom Cesium (seperti untuk GPS: Global
Positioning System) akan mendapat keuntungan yang sangat berarti
(berat satelit GPS akan bisa dibuat jauh lebih ringan, dan murah?)

Menurut kalimat di sebuah buku mengenai fisika & komputasi, ada
tokoh yang mengatakan, Fisika & Matematika itu ‘simetri’ :

– Matematika adalah ‘bahasa’ yang bisa digunakan oleh Fisika
untuk menjelaskan suatu konsep Fisika

– Sebaliknya, Fisika juga bisa dipandang sebagai ‘bahasa’ yang
bisa digunakan untuk menjelaskan suatu konsep Matematika.

Menarik. Yang menggelitik pertanyan berikutnya adalah: jadi ‘apa’
yang dimaksud dengan ‘batang daun di pangkal’ yang menjadi ‘titik
pertemuan’ Fisika & Matematika? :

– apakah ‘Metafisika’?
– apakah ‘Metamatematika’? 🙂

Dalam beberapa kasus, seperti di bawah ini, fenomena matematis yang
diketahui pada fisika teori mendorong matematikawan untuk menyusun
formalisme yang bersifat lebih general dan kanonis :

1. Ketika pertamakali Dirac mengungkapkan normalisasi quantum state-nya
melalui “fungsi” delta, saat itu para matematikawan belum menerima
keberadaan “fungsi” ajaib itu. Namun, kenyataannya “fungsi” delta sangat
efektif dalam penjabaran mekanika kuantum. Baru beberapa tahun kemudian
“fungsi” delta dapat diterima oleh matematikawan setelah Schwartz
berhasil menyusun suatu perangkat berupa teori Distribusi (atau dikenal
pula sebagai generalized functions). Dalam teori ini “fungsi” delta
direalisasikan sebagai linear functional.

2. Lahirnya “Operator Algebras” sekitar tahun lima puluhan yang dibidani
oleh Johan von Neumann tidak lain karena dimotivasi oleh mekanika
kuantum. Teori ini berusaha memberi kerangka yang formal dan general
bagi analisa operator-operator dalam ruang Hilbert. Teori ini pada
gilirannya mendorong munculnya quantum groups dan noncommutative
geometry.

3. Teori pengkuantuman. Cara untuk memperoleh gambaran kuantum dari teori
klasik yang diperagakan oleh Dirac kita kenal sebagai pengkuantuman
kanonis, walaupun sebenarnya tidak begitu kanonis seperti namanya.
Dalam beberapa hal, cara pengkuantuman ini mengandung kelemahan.

Misalnya sifat kartesis yang menempel pada cara pengkuantuman ini. Bagi
yang menganggap sifat kartesis ini sebagai “hukum alam”, maka sama
halnya menganggap bahwa mekanika kuantum adalah teori yang bersifat
euclidean. Namun kenyataannya ada ruang-ruang yang tidak sederhana,
misalnya smooth manifold atau Riemannian manifold (setiap smooth
manifold pasti R i e m a n n i a n). N a h, disinilah p a r a
matematikawan berusaha memberikan prosedur pengkuantuman yang lebih
kanonis dan lebih umum dibandingkan dengan pengkuantuman kanonis.
Prosedur pengkuantuman tidak lagi menjadi urusan para fisikawan namun
telah menjadi bidang yang subur di mana para Matematikawan banyak
mencurahkan ide-idenya. Dalam teori pengkuantuman modern, ruang hilbert
tidak lagi disusun dari fungsi-fungsi gelombang yang “quadrat integrable”
pada suatu ruang konfiguarsi, namun disusun dari sesuatu yang lebih
umum dari itu yaitu tampang-tampang (sections) dari complex line
bundle tertentu, sedang operator-operator direalisasikan melalui
turunan kovarian (connection). Dari berbagai sudut prosedur peng-
kuantuman modern lebih umum dari prosedur pengkuantuman Dirac.

Masih banyak contoh lagi yang menunjukkan bahwa matematika
berusaha memberi formalisme melalui aksiomatisasi terhadap apa yang muncul
di fisika teori. Dalam sebuah buku yang berjudul Foundation of Relativity,
seorang Matematikawan Australia, Schulz, berusaha menyusun aksioma untuk
teori relativitas.

Leave a comment